Jilbab adalah masalah fundamental yang bukanlah masalah furu’iyyah
sebagaimana dikira segelintir orang. Sampai-sampai para ulama berkata
bahwa siapa yang menentang wajibnya jilbab, maka ia kafir dan murtad.
Sedangkan orang yang tidak mau mengenakan jilbab karena mengikuti
segelintir orang tanpa mengingkari wajibnya, maka ia adalah orang yang
berdosa, namun tidak kafir.
Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Jilbab
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59). Ayat ini menunjukkan wajibnya jilbab bagi seluruh wanita muslimah.
Ayat lain yang menunjukkan wajibnya jilbab,
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ
أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ
يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ
جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)
“Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 30-31).
Dalil yang menunjukkan wajibnya jilbab adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ أُمِّ
عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ
وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ
وَدَعْوَتَهُمْ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلاَّهُنَّ . قَالَتِ
امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ .
قَالَ « لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا »
Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada
dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid
dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa
mereka. Tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka.
Seorang wanita bertanya:, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890).
Para ulama sepakat (berijma’) bahwa
berjilbab itu wajib. Yang mereka perselisihkan adalah dalam masalah
wajah dan kedua telapak tangan apakah wajib ditutupi.
Apa Itu Jilbab?
Dalam Lisanul ‘Arob, jilbab adalah
pakaian yang lebar yang lebih luas dari khimar (kerudung) berbeda dengan
selendang (rida’) dipakai perempuan untuk menutupi kepala dan dadanya.
Jadi kalau kita melihat dari istilah bahasa itu sendiri, jilbab adalah
seperti mantel karena menutupi kepala dan dada sekaligus.
Ibnu Katsir rahimahullah
menerangkan bahwa jilbab adalah pakaian atas (rida’) yang menutupi
khimar. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Al Hasan Al
Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakho’i, dan ‘Atho’ Al Khurosaani.
Untuk saat ini, jilbab itu semisal izar (pakaian bawah). Al Jauhari
berkata bahwa jilbab adalah “milhafah” (kain penutup).
Asy Syaukani rahimahullah
berkata bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar dari
khimar. Ada ulama yang katakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi
seluruh badan wanita. Dalam hadits shahih dari ‘Ummu ‘Athiyah, ia
berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki
jilbab.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Hendaklah saudaranya mengenakan jilbab untuknya.” Al Wahidi mengatakan bahwa pakar tafsir mengatakan, “Yaitu hendaklah ia menutupi wajah dan kepalanya kecuali satu mata saja.”
Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaadul
Masiir memberi keterangan mengenai jilbab. Beliau nukil perkataan Ibnu
Qutaibah, di mana ia memberikan penjelasan, “Hendaklah wanita itu
mengenakan rida’nya (pakaian atasnya).” Ulama lainnya berkata,
“Hendaklah para wanita menutup kepala dan wajah mereka, supaya
orang-orang tahu bahwa ia adalah wanita merdeka (bukan budak).”
Syaikh As Sa’di rahimahullah
menerangkan bahwa jilbab adalah milhafah (kain penutup atas), khimar,
rida’ (kain penutup badan atas) atau selainnya yang dikenakan di atas
pakaian. Hendaklah jilbab tersebut menutupi diri wanita itu, menutupi
wajah dan dadanya.
Kita pun dapat menyaksikan praktek jilbab di masa salaf dahulu.
قال علي بن أبي
طلحة، عن ابن عباس: أمر الله نساء المؤمنين إذا خرجن من بيوتهن في حاجة أن
يغطين وجوههن من فوق رؤوسهن بالجلابيب، ويبدين عينًا واحدة.
‘Ali bin Abi Tholhah berkata, dari Ibnu
‘Abbas, ia berkata, “Allah telah memerintahkan kepada wanita beriman
jika mereka keluar dari rumah mereka dalam keadaan tertutup wajah dan
atas kepala mereka dengan jilbab dan yang nampak hanyalah satu mata.”
وقال محمد بن
سيرين: سألت عَبيدةَ السّلماني عن قول الله تعالى: { يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ
مِنْ جَلابِيبِهِنَّ } ، فغطى وجهه ورأسه وأبرز عينه اليسرى.
Muhammad bin Sirin berkata, “Aku pernah bertanya pada As Salmani mengenai firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”, lalu beliau berkata, “Hendaklah menutup wajah dan kepalanya, dan hanya menampakkan mata sebelah kiri.”
Pandangan Kalangan Liberal Mengenai Jilbab
Salah satu tokoh JIL (Jaringan Islam
Liberal), Siti Musdah Mulia, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
(Ciputat, Banten) punya beberapa pendapat yang nyleneh mengenai jilbab dan ia terkenal dengan pemikiran kebebasannya. Dalam talkshow dan bedah buku yang berjudul “Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas Jilbab)”, juga di forum lainnya, beliau mengeluarkan beberapa pendapat kontroversial mengenai jilbab yang kami rinci sebagai berikut:
Pertama:
Menurut Bu Profesor Musdah Mulia, guru besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, realitas sosiologis di masyarakat,
jilbab tidak menyimbolkan apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan
ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan
shalehah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan
perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan
seseorang.
Sanggahan:
Bagaimana mungkin kita katakan jilbab
bukanlah lambang kesalehan dan ketakwaan. Orang liberal biasa hanya
pintar berkoar-koar tetapi tidak pernah ilmiah. Kalau mau ilmiah, yah
seharusnya berhujjah dengan dalil. Ibnul Qayyim menukilkan perkataan
seorang penyair:
العلم قال الله قال رسوله
“Ilmu adalah apa kata Allah, apa kata Rasul-Nya.” Jadi kalau bukan Al Qur’an dan hadits yang dibawa namun hanya pintar omong, maka itu berarti tidak ilmiah.
Bagaimana dikatakan berjilbab bukan lambang ketakwaan? Sedangkan takwa sebagaimana kata Tholq bin Habib,
التَّقْوَى :
أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَرْجُو
رَحْمَةَ اللَّهِ وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ
اللَّهِ تَخَافَ عَذَابَ اللَّهِ
“Takwa: engkau melakukan ketaatan
pada Allah atas cahaya dari Allah dalam rangka mengharap rahmat Allah
dan engkau meninggalkan maksiat pada Allah atas cahaya dari Allah dalam
rangka takut akan adzab Allah.” Bukankah kewajiban mengenakan jilbab sudah diperintahkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“ (QS. Al Ahzab: 59). Juga dalam ayat,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”(QS. An Nur: 31). Ini jelas perintah dan menjalankan perintah adalah bagian dari ketakwaan dan bentuk taat pada Allah.
Enggan berjilbab jelas termasuk maksiat karena dalam ayat setelah menerangkan sifat mulia wanita yang berjilbab ditutup dengan,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
(QS. An Nur: 31). Kalau disuruh bertaubat berarti tidak berjilbab
termasuk maksiat. Lantas bagaimana dikatakan berjilbab bukan bagian dari
takwa? Sungguh aneh jalan pikirannya.
Jika jilbab bukan lambang ketakwaan
karena ada yang berjilbab bermaksiat, maka kita boleh saja menyatakan
shalat juga bukan lambing ketakwaan karena ada yang shalat namun masih
bermaksiat. Namun tidak ada yang berani menyatakan untuk shalat pun
demikian. Jadi, tidak jelas bagaimana cara berpikir para pengagum
kebebasan (orang liberal).
Kata Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat
terakhir di atas, yang namanya keberuntungan diraih dengan melakukan
perintah Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan yang dilarang. Jadi, biar
selamat di akhirat dan selamat dari jilatan neraka, maka berjilbablah.
Kedua:
Bu Profesor yang sangat mengagumi Gus Dur berkata pula, “Tidaklah
keliru jika dikatakan bahwa jilbab dan batas aurat perempuan merupakan
masalah khilafiyah yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi
kafir mengkafirkan. Mengenakan, tidak mengenakan, atau menanggalkan
jilbab sesungguhnya merupakan pilihan, apapun alasannya. Yang paling
bijak adalah menghargai dan menghormati pilihan setiap orang, tanpa
perlu menghakimi sebagai benar atau salah terhadap setiap pilihan.”
Ibu Musdah menyampaikan pula, “Kalau
begitu, jelas bahwa menggunakan jilbab tidak menjadi keharusan bagi
perempuan Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap
kehati-hatian dalam melaksanakan tuntutan Islam. Kita perlu membangun
sikap apresiasi terhadap perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai
jilbab, sebaliknya juga menghargai mereka yang dengan pilihan bebasnya
melepas atau membuka kembali jilbabnya. Termasuk mengapresiasi mereka
yang sama sekali tidak tertarik memakai jilbab.”
Sanggahan:
Waw … satu lagi pendapat yang aneh. Bagaimana bisa dikatakan jilbab adalah suatu pilihan bukan suatu kewajiban?
Ayat-ayat yang menerangkan wajibnya
jilbab sudah jelas. Hadits pun mengiyakannya. Begitu pula ijma’ para
ulama menyatakan wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dengan
jilbab kecuali terdapat perselisihan pada wajah dan kedua telapak
tangan. Sebagian ulama menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan juga
wajib ditutup. Sebagaian lain mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan
boleh dibuka, namun menutupnya adalah sunnah (bukan wajib). Dalil
keduanya sama-sama kuat, jadi tetap kedua pendapat tersebut mewajibkan
jilbab, namun diperselisihkan manakah yang boleh ditampakkan.
Jadi batasan aurat wanita memang ada
khilaf apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat. Namun para ulama
sepakat akan wajibnya jilbab. Sehingga pendapat Bu Profesor barangkali
perlu dirujuk kembali dan harus membuktikan keilmiahannya, bukan hanya
asal berkoar.
Kalau jilbab telah dinyatakan wajib, maka
tidak ada kata tawar menawar atau dijadikan pilihan. Kalau dipaksakan
dalam Perda agar para pegawai berjilbab, itu langkah yang patut
didukung. Bukan malah seperti kata JIL yang menganggap Perda tersebut
malah mengekang wanita.
Begitu pula tidak boleh mengapresiasi
orang yang memamerkan lekuk tubuhnya, gaya rambut dan pamer aurat.
Karena perbuatan mereka patut diingkari. Jika punya kekuasaan (sebagai
penguasa), maka diingkari dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan
lisan dan tulisan sebagai peringatan dan pengingkaran. Jika tidak mampu,
maka wajib diingkari dengan hati. Jika dengan hati tidak ada
pengingkaran malah memberikan apresiasi, maka ini jelas tanda
persetujuan pada kemungkaran dan tanda bermasalahnya iman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian melihat
kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak
mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak
mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah
selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
Ketiga: Bu Musdah juga mengemukakan kesimpulan dari Forum Pengkajian Islam UIN Sharif Hidayatullah tahun 1998: “Hukum Islam tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup, tetapi menyerahkan hal itu kepada masing-masing orang sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan.”
Sanggahan:
Ini juga pendapat beliau yang sama dengan
sebelumnya. Kalau demikian adanya, maka berarti terserah kita
menentukan manakah pakaian muslimah. Kalau di Arab pakai abaya dan
hitam-hitam disertai cadar. Kalau di Indonesia, cukup kebaya. Kalau di
Barat, tidak mengapa memakai pakaian renang. Apalagi di musim panas,
cukup pakai celana pendek (yang terlihat paha) dan baju “u can see”.
Karena semua dikembalikan pada individu masing-masing dan dilihat
kondisi dan kebutuhan, tidak ada standar baku. Beda halnya jika yang
jadi patokan adalah firman Allah dan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka jelas patokannya.
Keempat:
Beliau kembali berkata, “Jika teks-teks tentang jilbab tersebut dibaca
dalam konteks sekarang, terlihat bahwa perempuan tidak perlu lagi
memakai jilbab hanya sekadar agar mereka dikenali, atau mereka dibedakan
dari perempuan yang berstatus budak, atau agar mereka tidak diganggu
laki-laki jahat. Di masa sekarang, tidak ada lagi perbudakan, dan busana
bukan ukuran untuk menetapkan identitas seseorang,” tandasnya nyleneh.
Bu Musdah juga mengatakan, “Jika
perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi karena sistem keamanan yang sudah
sedemikian maju dan terjamin, tentu perempuan dapat memilih secara
cerdas dan bebas apakah ia masih mau mengenakan jilbab atau tidak.”
Sanggahan:
Yang beliau singgung di sini adalah surat Al Ahzab berikut:
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Mari kita simak kalam ulama salaf mengenai tafsiran ayat di atas.
As Sudi rahimahullah mengatakan,
“Dahulu orang-orang fasik di Madinah biasa keluar di waktu malam ketika
malam begitu gelap di jalan-jalan Madinah. Mereka ingin menghadang para
wanita. Dahulu orang-orang miskin dari penduduk Madinah mengalami
kesusahan. Jika malam tiba para wanita (yang susah tadi) keluar ke
jalan-jalan untuk memenuhi hajat mereka. Para orang fasik sangat ingin
menggoda para wanita tadi. Ketika mereka melihat para wanita yang
mengenakan jilbab, mereka katakan, “Ini adalah wanita merdeka. Jangan
sampai menggagunya.” Namun ketika mereka melihat para wanita yang tidak
berjilbab, mereka katakan, “Ini adalah budak wanita. Mari kita
menghadangnya.”
Mujahid rahimahullah berkata,
“Hendaklah para wanita mengenakan jilbab supaya diketahui manakah yang
termasuk wanita merdeka. Jika ada wanita yang berjilbab, orang-orang
yang fasik ketika bertemu dengannya tidak akan menyakitinya.”
Penjelasan para ulama di atas menerangkan firman Allah mengenai manfaat jilbab,
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal.” (QS. Al Ahzab: 59)
Asy Syaukani rahimahullah
menerangkan, “Ayat (yang artinya), ” Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal”, bukanlah yang dimaksud supaya salah satu di
antara mereka dikenal, yaitu siapa wanita itu. Namun yang dimaksudkan
adalah supaya mereka dikenal, manakah yang sudah merdeka, manakah yang
masih budak. Karena jika mereka mengenakan jilbab, itu berarti mereka
mengenakan pakaian orang merdeka.”
Inilah yang membedakan manakah budak dan
wanita merdeka dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa wanita yang tidak
berjilbab berarti masih menginginkan status dirinya sebagai budak.
Bahkan Ibnu Katsir mengatakan bahwa jilbab bertujuan bukan hanya untuk
membedakan dengan budak, bahkan dengan wanita jahiliyah. Sehingga orang
yang tidak berjilbab malah kembali ke zaman jahiliyah. Yang dimaksud
zaman jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Disebut jahiliyah karena berada dalam zaman penuh kebodohan dan
kesesatan sebagaimana disebutkan dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith.
Coba bandingkan, manakah yang lebih paham
Qur’an, As Sudi dan Mujahid yang terkenal dengan keahliannya dalam ilmu
tafsir dan juga Asy Syaukani yang tidak perlu lagi diragukan ilmunya,
ataukah professor kemarin sore yang biasa memplintir ayat? Tentu saja
yang kita ikuti adalah yang lebih salaf dari Bu Musdah Mulia. Seorang
sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ
“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah.” Benarlah kata Ibnu Mas’ud, lebih terfitnah lagi atau lebih rusak jika yang diambil perkataan adalah orang JIL yang muara logikanya tidak jelas dan tanpa pernah mau merujuk pada dalil atau perkataan ulama, maunya mengandalkan logikanya saja. Biar kita selamat, ambillah perkataan salaf daripada mengambil perkataan JIL yang logikanya asal-asalan.
Jikalau mau dikatakan bahwa wanita
muslimah tidak butuh identitas jilbab lagi untuk saat ini. Maka
jawabnya, justru sangat butuh. Karena dengan jilbab seorang wanita lebih
mudah dikenal, ia muslim ataukah bukan. Bahkan lebih mudah dikenal ia
wanita baik-baik ataukah wanita nakal melalui jilbabnya.
Jika Bu Musdah Mulia menganggap bahwa
jilbab hanya bertujuan agar tidak diganggu laki-laki dan sekarang
keamanan wanita sudah terjamin. Jawabnya, sudah terjamin dari mana?
Justru kalau kita buat persentase, yang tidak berjilbab itu yang lebih
banyak jadi korban perkosaan. Maka benarlah firman Allah,
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.” (QS. Al Ahzab: 59). Kita bandingkan perkataan Bu Musdah dengan seorang ulama. Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Ayat di atas menunjukkan, orang yang tidak mengenakan jilbab akan lebih mudah digoda. Karena jika seorang wanita tidak berjilbab, maka orang-orang akan mengira bahwa ia bukanlah wanita ‘afifaat (wanita yang benar-benar menjaga diri atau kehormatannya). Akhirnya orang yang punya penyakit dalam hatinya muncul hal yang bukan-bukan, lantas mereka pun menyakitinya dan menganggapnya rendah seperti anggapan mereka itu budak. Akhirnya orang-orang yang ingin berlaku jelek merendahkannya.” Apa yang disebutkan oleh Syaikh As Sa’di memang benar dan sesuai realita di lapangan.
So … apa dengan alasan Bu Musdah
seperti itu, jilbab mesti dilepas karena wanita sekarang tidak butuh
identitas semacam itu? Silakan kita memilih, perkataan Bu Profesor ini
lebih diikuti ataukah firman Allah, sabda Rasul dan perkataan ulama yang
jelas lebih tinggi ilmunya dan pemahaman agamanya dibanding Ibu
Profesor.
Kelima:
“Perempuan beriman tentu secara sadar akan memilih busana sederhana dan
tidak berlebih-lebihan sehingga menimbulkan perhatian publik, dan yang
pasti juga tidak untuk pamer (riya)”, ujar Bu Musdah Mulia.
Sanggahan:
Bagaimana bisa berjilbab disebut riya’? Aneh …
Sebagaimana laki-laki jika ia diwajibkan
shalat jama’ah di masjid, apa kita katakan ia riya’ jika pergi ke
masjid? Jika seseorang ingin pergi shalat ‘ied ke lapangan, apa juga
disebut riya’?
Jadi dengan alasan Bu Musdah, laki-laki
tidak usah pergi ke masjid untuk berjama’ah. Begitu pula kita tidak
perlu shalat ‘ied di tanah lapang karena khawatir riya’.
Justru kita katakan bahwa untuk amalan wajib yang harus ditampakkan, maka wajib ditampakkan.
Kata Al-Izz bin ‘Abdus Salam, amalan yang
disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir
ketika shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah
(Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi
mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan
hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan
mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan.
Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia
berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam
beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya
dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena
amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.
Jika demikian, maka jilbab itu wajib ditampakkan dan itu bukanlah riya’. Bahkan kata Fudhail bin ‘Iyadh,
تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ
“Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’. Melakukan amalan karena manusia termasuk syirik.”
Keenam:
Bu Musdah Mulia juga berkata, “Memakai jilbab bukanlah suatu kewajiban
bagi perempuan Islam. Itu hanyalah ketentuan Al Qur’an bagi para istri
dan anak-anak perempuan Nabi.”
Sanggahan:
Bagaimana dikatakan jilbab hanya untuk
anak dan istri nabi, sedangkan dalam ayat sudah dijelaskan pula secara
terang bagi wanita beriman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin …” (QS. Al Ahzab: 59). Ayat hijab ini secara jelas menunjukkan perintah tersebut ditujukan pula untuk orang-orang beriman, namun terkhususkan pada istri dan anak Nabi.
Taruhlah jika perintah tersebut hanya
untuk istri Nabi dan anak-anaknya. Kita dapat berikan jawaban bahwa jika
untuk istri dan anak beliau saja diperintahkan untuk berjilbab padahal
ada Nabi di sini mereka yang jelas mereka lebih terjaga dari gangguan,
maka tentu wanita lainnya lebih pantas untuk menutup dirinya dengan
jilbab. Lebih dari itu, jilbab adalah sebagai tanda kemulian istri dan
anak Nabi. Jadi, barangsiapa ingin mulia, berjilbablah dengan segera.
Ketujuh:
Beliau menyatakan pula, “Asbab nuzul ayat-ayat tentang perintah jilbab
disimpulkan Musdah, bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya
ketimbang ajaran agama. Sebab, jika jilbab memang diterapkan untuk
perlindungan atau meningkatkan prestige kaum perempuan beriman, maka
dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang
lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi.”
Sanggahan:
Tidak sedikit komentar kaum penentang
jilbab mengatakan, kalau jilbab adalah hasil adopsi budaya bangsa Arab.
Sehingga menurut mereka, bangsa yang di luar Arab, tidak memiliki
kewajiban untuk mengikuti budaya Arab.
Jika katakan jilbab adalah budaya Arab,
maka kita mesti lihat sejarah Arab sebelum Islam itu datang. Kalau kita
lihat penjelasan ulama, ternyata menunjukkan bahwa jilbab itu datang
ketika Islam itu ada. Karena sebelumnya di zaman jahiliyah, wanita itu
telanjang dada. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Perempuan pada
zaman jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada,
tanpa ada kain sedikit pun. Kadang-kadang mereka memperlihatkan leher,
rambut dan telinganya. Kemudian Allah akhirnya memerintahkan wanita
beriman untuk menutupi diri dari hal-hal semacam tadi.
Jelas sudah, kalau jilbab yang dianjurkan
Islam beda jauh dengan budaya Arab. Lalu ada alasan lainkah yang
mengatakan jilbab itu sebuah budaya Arab? Jika merujuk pada jilbab yang
menutup aurat, jelas Islam lah yang menggagasnya.
Ayat-ayat dan hadits yang telah kami
jelaskan di awal sudah menunjukkan bahwa jilbab adalah bukan budaya
arab, namun ajaran Islam yang langsung diperintahkan oleh Allah. Ajaran
Islam bersifat universal untuk orang Arab dan non Arab sebagaimana Allah
Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”(QS. Al Anbiya’: 107). Ibnu Jarir Ath Thobari berkata bahwa tidaklah Nabi Muhammad itu diutus melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk Allah yang beliau diutus kepadanya.
Demikian beberapa penjelasan sebagai
sanggahan pada beberapa syubhat atau kerancuan yang biasa disampaikan
orang-orang Liberal atau JIL. Moga Allah terus menguatkan iman kita
dengan akidah dan pemahaman agama yang benar, serta menghindarkan kita
dari pemahaman orang-orang yang tak tahu arah.
Wallahu waliyyut taufiq.
0 comments
Post a Comment