Di
hadapan para dubes asing, Presiden SBY kembali menegaskan pembelaannya
terhadap Ahmadiyah dan GKI Yasmin. Di Gedung Pancasila, Kementerian Luar
Negeri, SBY mengatakan Pemerintah tidak pernah
melarang bahkan mengakomodasi kebebasan rakyat untuk beribadah sesuai
dengan keyakinannya, termasuk bagi rakyat Indonesia penganut Ahmadiyah.
Di sinilah,
relevansi penegakan Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam secara
menyeluruh. Penerapan syariah Islam akan menghentikan campur tangan
negara-negara imperialisme dalam segala bidang yang menjadi sarana
penjajahan negeri Islam. Politik dalam dan luar negeri pun ditujukan
untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pemilik modal dan
negara-negara imperialis. Jadi atas dasar apa kita menolak syariah dan
Khilafah Islam?
Pernyataan SBY
ini menunjukkan dua hal: diskriminasi terhadap umat Islam serta
ketundukan SBY terhadap negara-negara imperilias terutama Amerika
Serikat dan Eropa. Dengan pernyataan ini SBY memposisikan umat Islam
sebagai pihak yang salah, tidak toleran dan anarkis; sementara Ahmadiyah
dan GKI Yasmin diposisikan sebagai pihak yang lemah, kelompok yang
damai, minoritas sehingga harus dilindungi oleh negara.
SBY jelas
menutupi fakta sebenarnya. SBY menutup mata bahwa mayoritas umat Islam
menuntut Ahmadiyah dibubarkan karena kesesatannya. Bahkan ormas-ormas
besar di Indonesia seperti NU dan Muhamadiyah secara tegas menyatakan
kesesatan Ahmadiyah ini. Padahal tuntutan umat Islam terhadap Ahmadiyah
sangat minimalis, yakni agar mereka tidak membawa-bawa nama Islam dalam
keyakinan mereka. Maraknya konflik antar umat Islam dan Ahmadiyah
terjadi karena ketidaktegasan negara untuk melarang Ahmadiyah.
Dalam kasus GKI
Yasmin, fakta penting tentang adanya pemalsuan terhadap tanda tangan
warga yang seakan-akan menyetujui GKI Yasmin juga tidak diungkap oleh
SBY. Selain itu, bakal gereja yang berada di tengah-tengah pemukiman itu
ditolak warga setempat. Apalagi Mahkamah Agung dalam suratnya nomor:
45/Td.TUN/VI/2011 tertanggal 1 Juni 2011 sesungguhnya juga telah
mengakui SK Walikota Bogor tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin tersebut
dan mempersilakan pihak yang merasa dirugikan untuk menggugat ke
Pengadilan.
Pidato SBY di
depan kedubes asing ini menunjukkan perkara yang jelas: SBY sangat
khawatir dengan kemarahan pihak asing; khawatir dukungan politik
negara-negara Barat terhadap SBY berkurang. Padahal kalau dilihat dari
jumlah korban, masalah kecelakaan lalu-lintas yang telah membunuh ribuan
orang tentu lebih penting. Konflik-konflik dan kerusuhan yang berkaitan
dengan Pilkada, konflik agraris seperti Mesuji Lampung, atau konflik
tambang seperti di Bima jauh lebih mengerikan dan menyebabkan korban
yang lebih besar. Namun, mengapa SBY tidak merasa perlu untuk
menyampaikan itu?
Semua ini
menunjukkan posisi umat Islam yang sangat lemah dan tertindas meskipun
umat Islam mayoritas dari segi jumlah. Secara ekonomi juga umat Islam
sangat lemah. Kalau lebih dari 30 juta rakyat Indonesia miskin, atau 120
juta kalau menggunakan standar IMF, maka mayoritas yang miskin itu
pastilah umat Islam.
Tentu sistem
Kapitalisme yang berasaskan sekulerisme menjadi pangkal masalahnya.
Sistem Kapitalisme dengan nilai-nilai pentingnya seperti demokrasi,
pluralisme, dan liberalisme selalu memposisikan umat Islam di pihak yang
lemah, obyek diskriminasi dan menjadi korban. Dengan alasan
sekularisme, negara enggan campur tangan untuk melindungi akidah umat
Islam dari ancaman aliran sesat maupun pemurtadan. Dengan alasan
sekularisme aspirasi umat Islam untuk menerapkan syariah Islam di bidang
kenegaraan ditolak. Tidaklah mengherankan ketika umat Islam menuntut
Ahmadiyah dibubarkan, alasan yang selalu dimunculkan adalah negara kita
bukan Negara Islam, bukan berdasarkan syariah Islam. Padahal penegakan
syariah Islam adalah kewajiban kaum Muslim yang menjadi mayoritas di
negeri ini, termasuk dalam konteks kenegaraan.
Liberalisme
dalam masalah keyakinan memberikan legitimasi bagi kekufuran dan aliran
sesat. Aliran sesat seperti Ahmadiyah pun berlindung dengan alasan
kebebasan berkeyakinan. Kristenisasi terhadap umat Islam yang dilakukan
oleh para misionaris lewat pendirian gereja-gereja juga beralasan
kebebasan beragama.
Adapun
liberalisme ekonomi telah menjadi jalan bagi negara imperialis merampok
kekayaan alam negara kita. Tambang-tambang yang jumlahnya melimpah
seperti emas, minyak, batu bara, gas yang sejatinya merupakan milik
rakyat diekploitasi lewat mekanisme perdagangan bebas dan investasi
asing. Kekayaan alam yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat,
seperti pendidikan dan kesehatan gratis, justru dirampok oleh asing.
Beban ekonomi rakyat pun semakin berat, yang itu berarti memperbesar
kemiskinan.
Liberalisme
ekonomi yang menekankan pada minimalisasi peran negara dan pengurang
subsidi dalam segala aspek berpengaruh nyata memiskinkan rakyat. Prinsip
kebebasan ekonomi juga telah menyebabkan sumber-sumber ekonomi penting
dikuasai hanya segelintir orang yang, yakni pemilik modal kuat. Hal ini
menyebabkan terjadinya kesenjangan antara yang kaya dan miskin.
Liberalisme
dalam bidang sosial menyebabkan maraknya kemaksiatan. Kemaksiatan
seperti penyebaran miras, pelacuran, perjudian dan pornografi justru
mendapat payung hukum. Umat Islam yang ingin memberantas kemaksiatan itu
malah dikriminalkan karena memang secara undang-undang kemaksiatan itu
dilegalkan. Ketika umat Islam geram dan bertindak tegas karena dorongan
akidah, mereka dituduh anarki.
Sistem sekular
ini juga—lewat mekanisme demokrasi—memunculkan pemimpin yang pro Barat.
Dukungan Barat kemudian menjadi semacam syarat pokok menjadi pemimpin
politik. Sistem demokrasi mahal telah memunculkan pemimpin oportunis
yang lebih berpihak kepada pemilik modal yang mendukung kemenangan
politik mereka. Pemilik modal yang kuat tentu tidak bisa dipisahkan dari
Kapitalisme global yang didominasi oleh Barat.
Pemimpin yang
menjadi boneka Barat ini tentu memposisikan diri mereka bukan sebagai
pembela umat Islam, tetapi pembela kepentingan penjajah asing. Membela
umat Islam dianggap merugikan secara politik, karena mengurangi dukungan
Barat.
0 comments
Post a Comment