Wednesday 14 May 2014

#SEKS

Sudah lama sekali saya ingin menulis ini, hanya saja terhalang oleh waktu. Menanggapi pertanyaan dari teman saya mengenai perilaku seks menyimpang. Maka saya akan mencoba membahas. 
Seks - dalam arti hubungan kelamin (bukan jenis kelamin) - sebagai kebutuhan asasi manusia, secara esensial merupakan salah satu dari sekian banyak nikmat Allah yang diberikan kepada hambanya. Kebutuhan manusia akan seks tidak kalah asasinya dari kebutuhan-kebutuhan fisik lain dan merupakan satu aspek sebab manusia dapat bertahan hidup (survive). Sebagai suatu nikmat, seks dapat disyukuri seperti pula bisa dikufuri. Bersyukur atas nikmat seks, artinya manusia harus memahami hikmat dibalik anugerah seks, tujuan pemberian seks dan menggunakan seks sesuai dengan aturan yang ditetapkan-Nya. Sedangkan mengkufuri nikmat seks, artinya seseorang menyalahi aturan yang ditetapkan Tuhan atas seks dan tidak memahami (menutupi) tujuan dan hikmat daripada seks itu sendiri.
Manusia sebagai delegasi Tuhan, dipersiapkan dengan atribut lengkap yang tidak diberikan kepada mahluk lain agar ia bisa memakmurkan bumi ini. Seperti Tuhan telah melengkapi dengan atribut ketaatan, manusia juga diberi potensi untuk melakukan penyimangan-penyimpangan. Dengan kedua hal tersebut, maka amat wajar jika Tuhan mengunggulkan ketaatan manusia ketika dibanding dengan ketaatan para malaikat. Melalui hubungan seks, Tuhan menghendaki agar manusia merasakan anugerah Tuhan yang begitu besarnya dan memakmurkan bumi ini dengan kebaikan-kebaikan . Jika demikian adanya, maka penyimpangan seks manusia menyalahi kehendak Tuhan tersebut dan menyalahi tatanan alam yang wajar. 
Walaupun tidak mendalam, tulisan ini mencoba untuk mendiskusikan permasalahan seputar seks menyimpang dalam perspektif pemahaman legal Islam (fiqh) dengan dibatasi atas persoalan homeseks, lesbian dan masturbasi saja. Homoseks dan lesbian, dipilih sebagai bentuk yang mewakili prilaku seks menyimpang karena fenomenanya dan dampaknya yang begitu besar bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Sedangkan masturbasi dipilih, karena terdapat pandangan sebagian ulama yang begitu keras dalam masalah ini dan menilainya sebagai salah satu bentuk perilaku seks menyimpang dan dosa besar.

B. Definisi Prilaku Seks Menyimpang: Homoseks, Lesbian dan Masturbasi.

Dalam tinjauan medis, perilaku seks menyimpang diistilahkan dengan parafilia. Istilah yang berasal dari bahasa yunani ini tersusun dari dua frasa kata, yakni para yang berarti samping, dan philia yang berarti cinta. Istilah Parafilia kemudian digunakan untuk menunjuk kepada sifat dan prilaku serta ketertarikan seksual yang diluar kebiasaan atau diluar kewajaran . Dalam penelitian selanjutnya, ada beberapa perilaku seks yang biasa dikenal dan dikategorikan sebagai seks menyimpang. Kategori yang dimaksud secara berturut-turut adalah Homoseks, Lesbian dan Masturbasi.
Homoseks merupakan penyimpangan seksual yang mengacu kepada kelainan terhadap orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai kelamin sejenis atau identitas gender yang sama, baik pria dengan pria maupun wanita dengan wanita. Melalui pengertian ini, homoseks berarti memiliki pengertian yang umum. Pengertian khusus yang sering digunakan untuk seks sesama pria biasanya diistilahkan gay, dan untuk sesama wanita digunakan kata lesbian .
Tidak semua pelaku homoseksual dapat diidentifikasi melalui penampilan. Jika melihat pengertian yang penulis paparkan di atas, berarti waria dan tomboy ("leather boy") juga termasuk dalam kategori ini karena preferensi seksnya berorientasi pada sesama jenis. Hanya saja waria dan tomboy terlihat dari penampilan pisiknya, jika waria menyukai penampilan yang feminim, sebaliknya tomboy menyukai penampilan yang maskulin. Dalam kegiatan seksnya, waria menempatkan diri seolah sebagai pasangan wanitanya, dan tomboy menempatkan diri seolah sebagai pasangan lelakinya .
Gay dan lesbian sebagai bagian dari perilaku homoseksual, memiliki perbedaan dengan yang baru dijelaskan di atas. Baik gay atau lesbian berpenampilan layaknya lelaki dan perempuan biasa. Kelainan seksual mereka terlihat justru ketika sudah dihadapkan kepada pasangan sejenis mereka. Dalam kasus gay dan lesbian, dikenal adanya istilah pasangan pasif dan pasangan aktif. Pasangan aktif adalah mereka yang "melayani" (bertindak agresif dalam kegiatan seksnya) dan pasangan pasif adalah mereka yang "dilayani". Dalam kegiatan seksnya, baik gay maupun lesbian selalu taking turn sebagai pasangan aktif dan pasifnya .
Sedangkan masturbasi berasal dari kata manus yang berarti tangan dan stuprare yang berarti penyalahgunaan, istilah yunani ini kemudian disederhanakan sebagai penyalahgunaan fungsi tangan. Dalam bahasa Indonesia, masturbasi dikenal dengan istilah onani atau rancap, yang maknanya sama yaitu perangsangan organ sendiri dengan cara menggesek-geseknya melalui tangan atau benda lain hingga mengeluarkan sperma dan mencapai orgasme. Karena masturbasi lebih banyak terjadi pada remaja, maka perilaku seks ini mempunyai istilah "gaul" yang akrab disebut coli. Dalam fiqih Islam, masturbasi dikenal dengan banyak istilah seperti Istimnâ' al Kaff (bersenang-senang dengan telapak tangan), nikâh al yâd (sek dengan tangan), al Jildu al umairah (kulit yang kemerah-merahan), I'timâr (ziarah tangan), dan al 'adât al sirriyah (kebiasaan rahasia). Sedangkan masturbasi oleh wanita dikenal dengan istilah al Ilthâf .
Masturbasi dilakukan seseorang sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan seksualnya tanpa jalan senggama, selain menggunakan tangan juga digunakan pula alat bantu (vibrator/vaginator). Menurut sebagian ahli, masturbasi adalah istilah yang diperuntukan bagi wanita, sedangkan untuk laki-laki digunakan istilah onani. Penggolongan masturbasi sebagai salah satu perilaku seks menyimpang dimungkinkan karena sifatnya yang dilakukan tanpa senggama. Namun demikian, banyak dari pakar kesehatan yang menolak penggolongan masturbasi sebagai perilaku seks menyimpang. Bagi mereka, justru masturbasi adalah perilaku normal selama tidak dilakukan secara berlebihan dalam kuantitas (berapa kali dilakukan) maupun kualitas (tanpa mencederai alat kelamin) . 

C. Pandangan Islam Mengenai Homoseksual.
Semua manusia yang berjiwa sehat menilai homoseksual sebagai perbuatan tercela dan terlarang, baik dalam ukuran akal sehat maupun ukuran agama. Penilaian demikian berangkat dari pemahaman tentang status homoseksual sebagai kejahatan kemanusiaan (al jarîmah al khalqiyyah) yang tidak pantas dipraktekan oleh bangsa/jenis manusia manapun di dunia . Homoseksual juga dinilai sebagai bentuk perlawanan terhadap eksistensi kemanusiaan karena pada hakekatnya perbuatan itu bertentangan dengan fitrah manusia di satu sisi dan hukum alam di sisi yang lain . 
Melalui kaca mata Islam, homoseksual yang biasa diistilahkan dengan al liwat (untuk gay) dan al sihâq (untuk lesbian) ini disinggung dalam al Qur'an dengan istilah al fahisyah . Istilah ini biasanya diartikan sebagai zina, namun acapkali digunakan dalam arti homoseksual (al liwat) . Kata Fahisyah menurut al Ashfihany adalah perbuatan yang terlampau buruk atau begitu jelas unsur keburukannya sehingga tidak ada orang yang berakal sehat yang berkeinginan untuk menyangkalnya . Mungkin karena alasan ini pula maka seluruh manusia di dunia sepakat tentang penilaian buruk homoseksual dan tidak ditemukan pembenaran terhadap homoseksual atas nama agama manapun. Pembelaan yang biasa ditemukan terhadap kasus-kasus homoseksual biasanya dengan alasan hak asasi manusia sekular ad hoc tanpa menyertakan nama agama dalam prakteknya. Dengan kata lain, status hukum (keharaman) homoseksual dalam Islam dapat dikatakan sebagai sesuatu yang ma'lum bi al dharurah (taken for granted: diterima begitu saja) . 
Dengan kejelasan status hukum homoseksual, maka pembicaran di dalamnya menjadi suatu yang boleh dibilang tahsil al hasil. Bagi penulis kajian tentang eksistensi homoseksual sebagai fenomena sosial dan suatu fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah lebih relevan. Menurut penilitian para ahli kesehatan, diperoleh keterangan bahwa homoseksual disebabkan oleh hal-hal berikut, susunan kromosom, ketidakseimbangan hormon, kelainan susunan syaraf, dan faktor-faktor lain . Menurut pakar seksologi Wimpie Pangkahila seperti dikutip Desti Riyanti, faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor psikodinamik, sosiokultural dan lingkungan . Kesimpulan dari hasil penelitian tersebut dapat disederhanakan dalam dua poin. Pertama, homoseksual merupakan kelainan berlatarbelakng bornmake product (kelainan yang dihasilkan sejak lahir). Kedua, kelainan tersebut baru berupa potensi karena masih ada unsur lain yang bisa mempengaruhi perkembangan homoseksual, yakni unsur lingkungan dan sosial. Dengan ungkapan lain, kecenderungan homoseksual tidak dapat menjadi aktual jika tidak mendapat momentnya dalam lingkungan dan kehidupan sosial.
Pernyataan di atas menarik suatu pemahaman bahwa homoseksual berbeda dari kejahatan (jarimah) lainnya seperti pencurian atau zinah. Baik mencuri atau berzina, keduanya walaupun dapat difaktori oleh lingkungan sosial, namun kehendak dan kecenderungan pribadi sipelaku merupakan faktor yang dominan, berbeda dengan homoseksual. Latar belakang kelainan kelahiran (hormon, syaraf dan kromosom) yang diperoleh dari hasil penelitian ilmiah, mengandaikan adanya faktor lain diluar kehendak pribadi yang mendorong seseorang berprilaku homoseksual. Dengan ungkapan lain, homoseksual dapat disamakan dengan cacat bawaan. Namun demikian, pernyataan ini dibantah oleh pakar lain sebagai alasan yang tidak manusiawi. Bagi mereka, homoseksual merupakan pilihan yang dapat diubah dan bukan takdir yang statis .
Manapun dari pendapat di atas, keduanya mengandung unsur kebenaran. Karakteristik Islam yang dalam sejarah tidak pernah menentang hasil penelitian Ilmiah mengharuskan untuk menerima fakta tersebut . Di pihak lawannya, secara esensial-moral perilaku homoseksual tidak dipungkiri sebagai perbuatan tercela yang menentang fitrah manusia. Melalui logika ini, maka dapat dimengerti alasan sebagian pakar yang secara sepintas lalu memberikan pembelaan terhadap homoseksual . Bagi penulis, pembelaan mereka dalam kasus homoseksual tidak berarti pembenaran terhadap tindakan homoseksual. Secara proporsional, pembelaan mereka harus dipahami dalam tataran prasangka positif terhadap nilai-nilai kebaikan priomordial dalam diri manusia. 
Kita tidak akan berkata seperti perkataan Mujahid ketika berkomentar tentang pelaku homoseksual "…orang yang melakukan perbuatan homoseksual meskipun dia mandi dengan setiap tetesan air dari langit dan bumi masih tetap najis”. Kita juga tidak akan menetapkan hukum mati terhadap pelaku homoseksual sebagaimana ijtihad para ulama malikiah dan hanabilah , atau seperti mereka yang berdalil dengan argumen sahabat tentang aneka ragam cara membunuh bagi pelaku homoseksual . Tidak satupun ungkapan-ungkapan dan justifikasi ulama terhdap pelaku homoseksual seperti diungkap di atas yang bernada positif. Padahal – seperti telah di jelaskan di atas – homoseksual tidak semata-mata pilihan yang bersangkutan yang menyebabkan ia harus menanggung semua perbuatannya secara sadis. Benar bahwa perilaku homoseksual adalah perbuatan amoral yang tidak dapat ditolerir, namun lingkungan sosial dan genetika juga memiliki peran dalam terwujudnya penyimpangan ini.
Berangkat dari prasangka positif tentang nilai-nilai kebajikan priomordial yang terdapat dalam diri manusia, penulis percaya bahwa dengan kemauan keras dari pelaku dan penerimaan yang positif dan sinergis dari lingkungan sosial dapat mengurangi – jika tidak mungkin menghilangkan - penyimpangan seksual ini dan dampak negatifnya di masyarakat. Jika ditelaah lebih jauh, rendahnya pengawasan terhadap perkembangan remaja, sistem kolot pesantren yang cenderung memperketat pertemuan santri pria dan wanita, serta sejumlah sistem sosial lainnya juga kerap kali dituding sebagai pintu gerbang yang menyemaikan bibit-bibit homoseksualitas. 
Pendapat yang kedengaran agak positif terlihat dari pandangan pakar tafsir kenamaan Quraish Shihab ketika mengomentari ayat ke 15 dan 16 surah al Nisa cenderung memahami kata al fahisyah dalam ayat tersebut sebagai perbutan homoseksual. Menurut ulama ini – mengutip pendapat al Sya'rawi, ayat tersebut membicarakan hukuman bagi pelaku homoseksual baik wanita maupun pria. Homoseksual wanita (lesbian) hukumannya adalah dipenjarakan atau tahanan rumah melalui pengawasan penguasa setempat. Sedangkan hukuman bagi pelaku homoseksual pria adalah dicemoohkan bukan ditahan, demikian karena lelaki berkewajiban mencari rizki namun tidak demikian dengan wanita . 
Penjatuhan sanksi atas pelaku homoseksual baik pria maupun wanita, lanjut Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas, baru diberlakukan ketika dapat dibuktikan oleh sekurangnya empat orang saksi. Jika mereka telah bertaubat, yakni menyesali perbuatannya, tidak mengulangi perbuatan kejinya dan memperbaiki diri, dengan jalan beramal saleh dalam waktu yang cukup sehingga ia benar-benar dapat dinilai telah menempuh jalan yang benar, maka mereka tidak boleh lagi dicemooh lagi. Diakhir penafsirannya, Quraish Shihab menambahkan perlunya meneladani sifat Allah termasuk menerima kembali oerang yang bersalah dan menyayanginya . 

Artikel Terkait

0 comments

Post a Comment

Cancel Reply