Friday 30 December 2016

yang dimaksud dengan prinsip-prinsip  orientalisme adalah suatu pegangan yang menjadi dasar dalam setiap kajian para orientalis dalam rangka kajiannya tentang ketimuran. Pegangan dasar ini tidak semestinya terancang karena biasanya hasil kajian mereka adalah kiasan (reflection) dari sikap, tanggapan dan pemikiran sendiri. Kebiasaannya kiasan ini akan terungkap di dalam karangan-karangan mereka karena dengan cara ini ia akan mudah tersebar dan mudah disebarkan baik secara tersurat ataupun tersirat. Walaupun kadangkala isi kajian mereka mengandung kebenaran, tetapi karena kecenderungan mereka tampak menyelewengkan fakta, menghina, serta kritikan yang tidak membangun, mencela, merendah-rendahkan al qur'an, hadist, para sahabat dana agama islam itu sendiri, maka sikap dan kejujuran mereka akan dipertikaikan keseluruhannya. 

Namun begitu, terdapat juga orientalis yang jujur dalam satu kajiannya, tetapi sikap di dalam tulisannya dipertikaikan ataupun terdapat kesilapan fakta di dalam beberapa bagian bukunya tetapi di bagian-bagian lain diakui kebenarannya. Terdapat juga orientalis yang diperdebatkan keseluruhan ide-idenya.

Hanya segelintir yang betul-betul berniat jujur dan ikhlas. Oleh karena itu, ketidak jujuran intelektual (intelektual dishonesty) akan kerap kita temui di dalam karangan-karangan mereka. Sebab itu juga Edward Said menggelarkan tradisi keilmuan orientalis sebagai suatu skandal intelektualyang menjijikkan dan penuh dengan dosa intelektual manakala Mahmud Hamdi ZaqZuq menyifatkan orientalis yang bertanggung jawab terhadap penyelewengan akademik sebagai sophist modern.

Prinsip-prinsip orientalisme lebih mengarah serta bernuansa serta bernuansa anti ilmiah ataupun pseudo-seintific research karena skandal intelektual yang didasarinya. 

Diantara prinsip-prinsip orientalisme ialah gambaran dan teori-teori tentang timur lebih banyak dirujuk kepada teks-teks klasik yang dikatakan sebagai primary sources di dalam kajian-kajian mereka. Bukti-bukti nyata yang realistik yang berlaku di dalam masyarakat timur diabaikan atau tidak diutamakan. Kajian-kajian sains sosial tidak dititik beratkan, lantaran itu perubahan sosial masyarakat timur tidak diselidiki karena mereka lebih mengutamakan teks-teks kuno dan klasik, sehingga dikatakan kajian mereka hanya berkisar di dalam lingkungan textual studies yang tidak realistik dan kontemporari. Di dalam pengkajian hadist misalnya, Joseph Schact menggunakan metode kajiannya yang tidak saintifik dimana ia terlalu bergantung pada tulisan-tulisan polemik sarjana-sarjana hukum atau ahli fiqh yang awal saja untuk mencari dan memutuskan satu doktrin hukum diantara mereka.

Para orientalis juga tidak memilih bidang yang benar di dalam kajian mereka, dalam pengkajian isnad dan hadist misalnya, pengajian al-sirah tidak boleh dijadikan asas yang mencukupi kepada pengkajian tersebut tanpa melibatkan disiplin-disiplin ilmu lain yang berkaitan.

Terdapat sentimen kebangsaan, ras dan kebenuaan antara para orientalis dengan orang-orang timur sendiri. Sentimen ini menjalar dalam sikap, tindakan dan penelitian mereka. Timur dianggap serta diberi label sesat, militan, radikal, mundur, terbelakang, teroris, irrasional, dan inferior, manakala barat dianggap benar, unggul, rasional, superior, bertamadun dan maju. Sebab itu orang-orang barat dianggap sebagai fully human manakala masyarakat asia-afrika dianggap sebagai barbarian. Pendapat Karl Enrich Marx membuktikan anggapan barat terhadap timur yang terlalu memandang orang-orang timur sebagai mansia yang rendah dan bodoh. Karl Marx menegaskan bahwa: "bangsa-bangsa timur tidak boleh mewakili dirinya sendiri, mereka harus diwakili (oleh barat)."

Barat dikatakan mencintai mencintai kedamaian dan mengamalkan demokrasi manakal timur dianggap kurang moral, kejam, biadab, haus darah dan berbagai tuduhan lagi. Pemaparan mengenai keburukan Islam yang diada-adakan ini dijelmakan bukan saja di dalam penulisan-penulisan orientalis, malahan ia juga di utarakan di dalam lukisan-lukisan dan novel-novel mereka yang dikatakan berunsur imajinatif. Sejak abad ke 17, pelukis-pelukis eropa seperti Jhon Leon Jerome, Eugene Delecroix, Horace Vernet, Jhon Fedrich Lewis dan Leopold Karl Muller telah menonjolkan tema tersebut. Novelis-novelis eropa pula seperti Humprey Prideux, Dante Milton, Marlowe, Tasso, Shakespeare dan Cervantes. Bgeitu juga dengan novelis-novelis abad ini seperti Leon Uris dengan novelnya 'Haj', Horn of Africa karya Philip Caputo, In Path of God karya Daniel Pipes, The Dagger of Islam karya Jhon Laffin, 

Artikel Terkait

0 comments

Post a Comment

Cancel Reply