Monday 2 January 2017

Jika Nilai Islam Mulai Terpinggirkan

Satu lagi gelombang fitnah syubhat hadir mencoba untuk menggoyang aqidah kaum muslimin dan meruntuhkan sendi-sendi keotentikan Islam. Sekelompok "cendekiawan" dan "kaum intelektual kritis" di bawah payung Paramadina, dengan mengusung misi westernisasi dan sekulerisasi, hadir di berbagai media massa, elektronik dan dunia maya dengan mengangkat bendera Jaringan Islam Liberal (JIL).

Tulisan ini tidak akan menanggapi sekulerisasi, westernisasi dan neo mu'tazilah yang tengah gencar mereka sosialisasikan di tengah masyarakat muslim, namun akan mencoba menengok ke belakang, ke Mesir. Kenapa Mesir ? Ya, di Mesirlah untuk pertama kali gerakan Islam Liberal muncul. JIL yang hadir di Indonesia saat ini sebenarnya hanyalah usaha taqlid dan menjiplak dari gerakan Islam LIberal di Mesir, puluhan tahun yang lalu. Dengan demikian, JIL Indonesia bukan mendatangkan sesuatu yang baru, namun menghidupkan warisan kuno dan usang.

Dalam disertasinya " Falsafah Al Masyru' al Hadhari : Baina al Ihya' al Islami wa al tahdits al Gharbi " (1995 :535), Ahmad Muhammad Jaad Abdu Razaq menulis, ketika terjadi interaksi kebudayaan dan peradaban Islam-Barat sebagai akibat dari ghazwul fikri dan gerakan orientalis, di kalangan cendekiawan muslim terjadi kegoncangan (shock) yang membuat mereka terkubu dalam tiga kelompok :

(1).Kelompok yang menerima secara totalitas peradaban dan kebudayaan Barat tanpa reserve.

(2).Kelompok yang menolak secara totalitas.

(3).Kelompok yang mencoba memadukan peradaban Barat dengan warisan Islam (menurut istilah mereka : ketimuran).



Meminjam istilah Thaha Jabir al Ulwani, terjadi shock pada diri para intelektual muslim pada benturan peradaban ini. Hal ini terjadi ketika mereka menyaksikan peradaban barat yang maju pesat, dan membandingkannya dengan kondisi umat Islam yang lemah, tertinggal dalam segala aspek dan terjajah, baik penjajahan fisik maupun non fisik yang berwujud pemerintahan yang menerapkan hukum imperialis yang sering bertabrakan dengan prinsip-prinsip Islam, terkhusus lagi perdebatan mengenai hubungan agama-negara dan agama-masyarakat.

Dari sini terjadi perbedaan pendapat yang tajam antara kelompok yang memperjuangkan tajdid dieny (reformasi Islam) dengan kelompok liberal. Kelompok liberal adalah kelompok yang ingin melepaskan diri dari "pasungan agama" baik secara keseluruhan maupun dalam beberapa aspek ajaran agama. Pada tahap awal pertumbuhannya, kelompok liberal membelokkan kekuasaan Allah kepada kekuasaan manusia (sekulerisme), dan pada tahap selanjutnya secara sempurna membelokkan ilahiyat kepada insaniyat (humanisme). Kehidupan manusia ditegakkan di atas dasar nilai-nilai HAM dan humanisme yang nisbi dan banyak didiktekan oleh negara-negara Barat, sementara ajaran agama dipinggirkan. Dalam pengertian ini, banyak aliran dan teori pemikiran yang masuk bergabung dalam gerakan liberal, di antaranya adalah marxisme, sekulerisme, nasionalisme, sosialisme dan materialisme.

Gerakan Islam liberal memandang pemikiran, kebudayaan dan peradaban Barat sebagai peradaban utama dan refferensi final. Tak heran bila gerakan Islam liberal di Mesir memenangkan akal dan ilmu pengetahuan (ala barat) atas nash-nash Al Qur'an dan As sunah, dan mendahulukan nasionalisme sekuler dengan ekonomi kapitalismenya atas system pemerintahan dalam ajaran Islam.

Bila dikalangan tajdid dieny --- yang berpandangan kaum muslimin akan maju bila berpegang teguh dengan Islam --- terdapat perbedaan dalam menentukan bentuk perubahan yang ideal, begitu juga dengan kalangan Islam liberal. Di antara mereka tak ada kata sepakat, langkah perubahan yang mereka lontarkan beragam :

(1) Sebagian mereka mengambil peradaban barat secara totalitas tanpa reserve, seperti gerakan Thaha Husain dalam sebagian perkembangan pemikirannya, Husain Fawiz dan Salamah Musa 

(2) Sebagian mereka berpegangan pada teori evolusi Darwin yang mengingkari Tuhan dengan tafsir materialismenya, seperti Syibli Samuel (1835-1917), Ya'qub Sharuf dan Salamah Musa, atau mengambil teori Darwin namun menolak tafsir materialismenya seperti Ismail Mazhar.

(3) Sebagian lainnya menyeru kepada kapitalisme di bidang ekonomi, seperti Sybli Samuel, Farah Anton (1897-1907) dan Salamah Musa.

(4) Sebagan lainnya mengajak kepada sekulerisme di bidang pemerintahan, seperti Farah Anton, Syibli Syamuel, Salamah Musa, Ismail Mazhar, Ali Abdu Raziq, Ahmad Lutfi Sayid, Thaha Husain, Muhammad Ahmad Khalfullah, Mahmud Azmi, Fuad Zakaria, Faraj Audah dan Louis Iwadh.

(5) Sebagian lagi mengajak kepada Nasionalisme ala Fir'aun, seperti paham Thaha Husain, Husain Fawiz dan Muhammad Husain Haikal.

(6) Sebagian lain berpaham humanisme, materialisme dan tafsir baru atas tasawuf, seperti diyakini oleh Abdurahman Al Badawi.

(7) Sebagian lain menganut paham kebebasan, humanisme, penafsiran bebas nash Al Qur'an dan As Sunah sesuai realita masa kini dan menyerahkan hak-hak Allah kepada manusia, seperti dianut Hasan Hanafi dan Nashr Hamid Abu Zaid.



Gerakan liberal ini terkadang menyebarkan pemikirannya secara terang-terangan dan menantang, terkadang juga secara "moderat". Kesatuan misi menentang hubungan agama-negara menyatukan berbagai gerakan pemikiran baik nasionalisme, sekulerisme, kapitalisme, materialisme, marxisme dan humanisme ke dalam gerakan besar liberalisme. Walhasil, liberalisme menjadi baju besar yang dipakai oleh berbagai gerakan pemikiran.





SEJARAH LIBERALISME DI MESIR



Pada awalnya, gerakan liberal di Mesir dipelopori oleh non muslim dan diikuti oleh sebagian muslim yang terkotaminasi dengan pemikiran mereka. Fahmi Jad'an dan Hisham Sahrabi mencatat bahwa beberapa orang Kristen di Libanon yang dipelopori Syibli Samuel, Farah Anton, Faris Namer, Ya'kub Saruh dan Sahin Makarius merasa terasing dengan pemerintahan Turki Utsmani. Mereka kemudian pindah ke Mesir. Karena mereka minoritas Kisten di tengah mayoritas muslimin, maka langkah pertama mereka adalah mensosialisasikan aqlaniyah "rasionalisme" yang menentang "Islam politik". Langkah yang efektif ini mereka teruskan dengan sosialisasi paham nasionalisme yang mengajak kepada persatuan berdasar tanah air, kebudayaan dan bahasa, serta menolak persatuan berdasar agama mayoritas (Islam) dan menolak pemerintahan Turki Utsmani karena bertentangan dengan rasionalisme dan perkembangan zaman.

Fakta sejarah ini membuktikan bahwa gerakan liberalisme merupakan gerakan sekuler Kristen untuk menjatuhkan pemerintahan Islam Turki Utsmani di dunia Arab, terkhusus lagi Mesir. Karena itu Jhon Obert Voll,menegaskan bahwa sebagai pencetus awal gerakan Liberalisme, merekalah yang mendefinisikan liberalisme, rassionalisme dan nasionalisme Arab, dan mereka pula yang menetapkan ideology dan langkah-langkah gerakannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan gerakan liberal di Mesir bisa merasuki sebagian cendekiawan Mesir dan akhirnya menggelinding bak bola salju. Faktor-faktor tersebut adalah :

a). Interaksi langsung sebagian cendekiawan muslim dengan peradaban Barat. Mereka hidup dan melihat secara riel perjalanan peradaban Barat. Sedikit sekali kaum Islam liberal yang berinteraksi dan menguasai dengan baik literature Islam, mayoritas mereka adalah 'cendekiawan" terbitan barat, terkhusus lagi Perancis. 

b). Dukungan penuh media massa dan elektronik Mesir yang saat itu berada di bawah kekuasaan non muslim. Sosialisai ide gerakan liberalisme mengalir tanpa hambatan berarti. Reaksi umat Islam yang menentang gerakan ini sama sekali tak terekspos oleh media, sehingga terkesan tak ada perlawanan. Dengan begitu, gerakan kristen dan Islam Liberal yang hanya didukung sebagian cendekiawan berhasil membuat publik opini, seakan-akan gerakan ini didukung dan diterima massa. Gerakan ini mendapat reaksi keras dari gerakan pan Islamisme yang saat itu juga marak didengung-dengungkan oleh kalangan tajdid dieny. Namun sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Jabir Anshari , arus gerakan liberalisme ini berada di atas angin dan menguasai gerakan pemikiran Mesir saat itu.

c). Dukungan sepenuhnya dari penjajah Inggris yang menguasai Mesir saat itu. Inggris berkepentingan melestarikan gerakan ini, karena selain tidak membahayakan kepentingan penjajah Inggris di MEsir, gerakan LIberalisme justru membangkitkan semangat anti Turki Utsmani yang saat itu menjadi musuh bebuyutan Inggris. Gerakan Liberalisme menyanjung penjajah Inggris setinggi-tingginya. Koran-koran nasional utama seperti Al Ahram, Al Muqtathaf, Al Wathan dan Al Hilal gencar menyuarakan ide mereka yang berintikan dukungan sepenuhnya bagi kelanggengan penjajahan Inggris dan seruan untuk berkiblat pada peradaban Barat.  Secara khusus, Victor Danner menggaris bawahi peranan penjajahan Barat bagi eksisnya gerakan Liberalisme di dunia Islam ini. Menurutnya, secara sengaja penjajah Barat menggunakan kekuasaan politik, peradaban dan kebudayaannya untuk mengasuh, membesarkan dan membuka jalan selebar-lebarnya bagi liberalisme. Mereka memunculkan pemikiran dan tokoh-tokoh muslim yang "kebarat-baratan", yang bangga dengan peradaban Barat melebihi kebanggaannya kepada peradaban Islam. Tujuan final dari usaha ini adalah memunculkan gerakan yang mengajak kepada kapitalisme, nasionalisme, sosialisme bahkan kalau perlu komunisme serta isme-isme lain yang berasal dari Barat. Dengan demikian akan lahir generasi cendekiawan muslim yang berprinsip "tidak ke barat tidak ke timur."

d). Satu hal lagi yang mempunyai peranan besar bagi suburnya liberalisme adalah dihapusnya khilafah Utsmaniyah dan berdirinya pemerintahan sekulerisme ala Ataturk. Abad 18,19 dan 20 merupakan periode kemunduran Turki Utsmani. Satu persatu wilayahnya memerdekan diri atau direbut negara penjajah Barat, sementara hutang negara bertumpuk-tumpuk. Kekalahan Turki Utsmani di berbagai peperangan semakin memperburuk citranya sebagai negara Islam. Barat telah mengatur skenario naiknya Ataturk ke puncak kekuasaan. Dalam waktu singkat, ia berhasil memukul balik serangan-serangan negara Barat. Sandiwara ini memunculkan kesan, Turki mengalami kehancuran di saat menerapan sistem Islam. Turki bisa bangkit setelah menerapkan sekulerisme. Tak diragukan lagi, Ataturk telah menjadi idola banyak tokoh pemerintahan dan pemikiran. Mereka memandang menjauhkan Islam dari sistem khilafah dan menegakkan negara merdeka di atas pondasi nasionalisme sekuler sudah merupakan suatu keniscayaan. Mayoritas negara muslim yang baru merdeka berdiri di atas pondasi nasionalisme sekuler. 



Di tengah pergulatan dua arus pemikiran yang hangat tersebut, sebagian cendekiawan muslim saat itu seperti Muhammad Abduh mencoba mencarikan titik temu dari kedua pemikiran yang kontradiktif ini, namun akhirnya justru condong kepada sekulerisme. Dikatakan demikian, karena murid-murid Muhammad Abduh sendiri secara yakin memahami bahwa seruan Abduh tak lain adalah seruan murni kepada sekulerisme.

Abduh telah bermaksud mendirikan tembok untuk membentengi sekulerisme, namun ---sengaja atau tidak sengaja--- justru membangun jembatan penyeberangan bagi gerakan sekulerisme untuk menguasai dunia pemikiran di Mesir. Menurut istilah Malise Ruthven , Abduh telah memudahkan jalan bagi "nasionalisme sekuleris" dan pembentukan "negara nasionalisme ala Barat." Selain mengundang peran penjajah Inggris untuk mengasuh gerakan Abduh, hal ini juga menyebabkan aliran politik Barat "nyaris" sempurna menguasai otak murid-murid Abduh seperti Ahmad Lutfi Amien, Thaha Husain, Sa'ad Zaghlul, dan Qasim Amien. Ditambah dengan pendidikan Barat yang mereka enyam, lengkap sudah keyakinan mereka terhadap liberalisme yang beraliran politik sekulerisme ini. Secara pasti Anshari, Sharabi, dan Jad'an menulis mereka inilah generasi penerus liberalisme Kristen yang dicetuskan oleh Syibli Samuel dkk.





TOKOH DAN PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL


Gerakan liberalisme yang dipelopori dan dibina oleh kalangan Kristen di Mesir segera diterima sebagian "cendekiawan" dan "intelektual kritis" muslim di Mesir, disebabkan beberapa faktor yang telah disebutkan di atas. Gerakan pemikiran ini akhirnya menjadi gerakan politik tersendiri. (Voll, 1982:163). Setelah terjadinya revolusi berdarah pada tahun 1338 H/1919 M dan semakin menguatnya seruan untuk menghidupkan kembali kebudayaan Fir'aun yang telah berusia ribuan tahun sebelum masehi, maka mulailah kalangan Islam liberal menyerang peradaban Islam dan Arab.

Pada tahun 1339 H/1920 M, Mahmud Azmi menyerukan : (a) penghapusan pelajaran agama Islam dari seluruh lembaga pendidikan di Mesir dan (b) penghapusan pasal UUD Mesir yang menyatakan agama resmi negara adalah Islam sehingga memungkinkan berdirinya sebuah negara sekuler. Langkah ini kemudian disusul oleh langkah Ismail Mazhar (1309 H / 1891 M -1381H / 1961 M), yang menyerukan: (a) penerapan hukum positip ala Barat sebagai UUD negara Mesir, (b) mengkritik dan menolak hukum Islam serta (c) menolak keimanan kepada hal yang ghaib. Baginya, iman kepada hal yang ghaib (metafisika) menunjukkan masih primitifnya bangsa Mesir. Metafisika sama sekali tak bisa diterangkan dengan metode ilmiah Barat. Beberapa tokoh Islam liberal lainnya segera menyusul jejaknya, seperti Muhammad Husain Haikal, Ali Abdu Raziq, Manshur Fahmi, Thaha Husain, Husain Fawiz dan lain-lain.

Secara global, pemikiran para tokoh Islam liberal di Mesir bisa digambarkan sebagai berikut :



1.Ismail Mazhar :

(a).Menolak hal-hal yang ghaib (metafisika). Pemikiran ini diperjuangkannya setelah ia membaca karangan Syibli Samuel yang berjudul "Falsafatu Nusyu' wal Irtiqa' ". Diakuinya sendiri dalam bukunya "malqa as sabil", buku Samuel ini mempengaruhi seluruh jalan hidupnya. Menurut Mazhar, teori evolusi Darwin merupakan puncak pemikiran ilmiah. Baginya, mengimani hal yang ghaib adalah sebab utama kemunduran dan keterbelakangan kaum muslimin. Dengan tegas, dalam buku "watsbatu Syarqi" dikatakannya bahwa sebab hakiki dari kemajuan Barat adalah melepaskan diri dari keimanan kepada hal yang ghaib. Karenanya, dalam bukunya "malqal sabil", ia menyebutkan satu-satunya jalan untuk maju adalah mengikuti jejak Barat dan mengganti era metafisika dengan era ilmiah.

(b).Menyerukan untuk bebas tak terikat dengan seluruh aturan agama. Baginya, kebebasan berpendapat dan berbuat tanpa aturan agama sama sekali merupakan sebab kemajuan negara-negara Barat. Untuk mensosialisasikan ide ini, pada tahun 1927 M ia menerbitkan majalah "al 'ushur".

(c).Menganut teori evolusi Darwin. Di antara tokoh Islam liberal di Mesir, Mazhar termasuk yang paling bersemangat mensosialisasikan teori Darwin. Dialah yang menerjemahkan buku Darwin,"The Descent of Man" pada tahun 1919 M/1338 M.

(d).Menurutnya, sekulerisasi merupakan suatu keniscayaan demi meraih kemajuan seperti yang dialami negara-negara Barat. Sebagai konsekuensinya, ia menolak system pemerintahan khilafah yang terbukti efektif membawa kemajuan selama lebih dari sembilan abad bagi dunia Islam. Dalam edisi perdana majalah al 'Ushur, ia menegaskan," Khilafah hanyalah sistem pemerintahan warisan Islam saja, namun ia sudah tak sesuai dengan kondisi masa ini dan tak mampu menjawab kebutuhan zaman modern."



2.Husain Fawiz

(a)Menyeru untuk meniru Barat dalam seluruh aspek kehidupan. Baginya, Paris adalah induk semang dan standar peradaban dunia. Tak ada peradaban selain peradaban Barat. Menurut Jud'an  dan Abdu Razaq , secara umum seruan untuk mengekor kepada peradaban barat ini bisa dikategorikan dalam tiga kelompok :

(1)Murni mengikuti peradaban Barat dalam artian menolak keterkaitan Mesir dengan Islamisme, Arabisme atau ketimuran. Ini diwakili oleh Salamah Musa, Husain Fawiz, Mahmud Azmi, Ahmad Luthfi Sayid dkk.

(2)Liberalisme, dalam arti kata membebaskan akal dari seluruh aturan agama, yang diwakili oleh Ismail Mazhar, Thaha Husain dan Syibli Samuel.

(3)Sekulerisme yang menolak peran serta agama dalam pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Ini diwakili oleh Thaha Husian, Ali Abdu Raziq, Ahmad Lutfi Sayid dkk.



3. Ali Abdu Raziq : a). Mempeopori seruan sekulerisme di dunia Islam melalui bukunya yang super kontroversial " Al Islam wa Ushulul Hukmi." Menurutnya, sama sekali tak ada dalil dari Al Qur'an, as Sunah maupun ijma' yang menyatakan adanya negara dalam Islam. Islam adalah agama rohani semata, tugas Rasul adalah menyampaikan risalah rohani dan bukan risalah dan daulah. Menerapkan sekulerisme menjadi faktor terpenting menuju kemajuan. Khaldun S. El Husry menyebutkan bukunya ini menjadi pegangan utama dari semua tokoh Islam Liberal dalam membela sekulerisme dan westernisasi. Abdu Razaq menyebutnya sebagai buku paling berbahaya dalampemikiran Arab konteporer, karena telah mempengaruhi banyak tokoh hakim di Mesir.



4. Ahmad Luthfi sayid (1872-1963 M) : a). Penganjur paham nasionalisme sekuler ala Barat yag sangat getol. Ia banyak terpengaruh oleh pemikiran nasionali sekuler Rifa'a Rafi' Tahtawi , ulama Mesir yang pertama kali mengajak berkiblat kepada Paris. Ia menyebarkan pemikirannya ini lewat partai Al Ummah dan koran "al Jaridah" yang dipegangnya.



5. Thaha Husain. Sebagai murid Ahmad Luthfi Sayid, ia gencar mensosialisasikan ide negara nasionalis sekuler. Hal itu dituangkannya dalam banyak tulisan dan buku, seperti buku "al Syi'ru al Jahily". Bukunya ini menambarkan pengingkaran Thaha Husain terhadap peristiwa sejarah di masa lalu seperti eksistensi Ibrahim dan Ismail. Sejak kembali dari Eropa, pemikiran liberal yang mengajak untuk menjadikan Barat sebagai guru dalam segala hal terus dikumandangkannya. b). Menyerukan penyamaan agama samawi. Baginya, semua agama sama dan baik. c). Menghidupkan kebudayaan Laut Tengah, Yunani Kuno dan Mesir Kuno. Untuk itu pada tahu 1938 M ia menulis buku "Mustaqbalu Tsaqafah Fi Mishra." Dalam buku in ia menggkapkan bahwa dalam segala hal Mesir adalah bagian tak terpisahkan dari Eropa. Islam sama sekali tak bisa merubah kebudayaan dan akal seorang Mesir, sebagaimana Kristen juga tak mampu merubah akal dan filsafat Yunani dari bangsa Eropa. Karena itu, satu-satunya jalan menuju kebangkitan adalah mengikuti Eropa secara totalitas, baik segi material maupun spiriual.



6. Muhammad Husain Haikal a. Menghidupkan kembali kejayaan peradaban Fir'aun Kuno. b). Sejak awal tahun 20an, ia mendukung sepenuhnya ide negara nasionalisme sekuler yang tengah marak kajian kaum Islam Liberal. Ia mendukung sepenuhnya pemikiran Ali Abdu Raziq. Namun pikirannya mulai tn 1933 mulai berubah setelah menyaksikan dua peristiwa penting : pertama. kehancuran moral yang melanda negara-negara sekuler di Eropa. kedua. Gencarnya kristesasi yang dilancarkan oleh negara-negara sekuler Eropa. Ia mulai mengakui peranan penting agama ---Islam---dalam kehidupa bangsa Arab dan dunia. Pemikiran terakhirnya ini ia tuangkan dalam bukunya " Hayatu MUhammad" dan "Ash Shidiq Abu Bakr."



7. Husain Muanis. Menempatkan kejayaan Mesir era fir'aun sebagai fondasi kebangunan Mesir modern. Dalam buku " Turatsu Mishra al Qadimah " ia menganggap masuknya Islam ke Mesir pada masa khalifah Umar sebagai dinding tebal yang memisahkan Mesir dengan kebudayaan nenek moyangnya. Untuk itu, menghidupkan kebudayaan Mesir kuno sebagai bagian dari kebudayaan Laut Tengah merupakan sebuah solusi final bagi membangun Mesir baru yang beradab. Meski sudah banyak para intelektual Mesir yang menyerukan seruan serupa, namun satu sama lain tak ada kesamaan konsep mengenai wujud dan bentuk riel Mesir modern ala Fir'aun. Seruan-seruan ini tak pernah membumi, tak bisa diterjemahkan dan hanya menjadi wacana yang tak sempurna. Teori yang tak pernah tuntas ini justru menjadi bumerang sehingga mengakibatkan renggangnya hubungan Mesir-negara arab. Marshel Columb bahkan menyebutnya sebagai sekedar gerakan satra yang tak mempunyai nilai.

8. Khalid Muhammad Khalid : a). Sekulerisme. Pada tahun 1950 M/1370 H, ia menulis buku Min Huna Nabda' yang menyerukan konsep negara sekuler merupakan sebuah kemestian dan solusi final bagi bangsa Mesir. Menurutnya, memutus hubungan agama-masyarakat merupakan tangga pertama menuju kemajuan dan kemakmuran. Secara berani ditegaskannya, menyatakan agama (Islam) merupakan agama yang sempurna dan paripurna dalam mengatur seluruh aspek kehidupan, adalah tak berdasar dalil sama sekali, sebuah kebohongan dukun semata. Dituturkannya, menerapkan Islam sebagai manhajul hayat (konsep mengatur kehidupan) dalam kehidupan berbangsa hanya menggiring pada sebuah negara teokrasi yang lali, 99 % telah terbukti membawa manusia pada jurang kesengsaraan. Untuk itu, pelajaran agama harus dihapus dari kurikulum pendidikan. Belakangan, pikirannya berubah dan ia menerbitkan buku "Ad Daulatu fil Islam ." Iasecara jujur menarik kembali pendapat sekulernya dan menegaskan Islam adalah agama dan negara, Islam sebuah konsep sempurna bagi se luruh aspek kehidupan manusia. Ia juga tidak setuju dengan istilah teokrasi bagi negara Islam, karena adanya perbedaan sejarah antara negara Islam dengan teokrasi ala Eropa. 



9. Abdurahman Badawi. a). Menganut paham wihdatul wujud Ibnu Arabi dan Abdul Karim al Jili.

10. Hasan Hanafi. a). Ilmu kalam menurutnya membahas tentang manusia sebagai pokok segala yang wujud. Ia menyatakan manusia adalah makhluk ghaib yang lalu muncul ke dunia nyata. Saat itulah manusia menyadari bahwa dirinya adalah Tuhan itu sendiri sekaligus makhluk Tuhan dalam bentuk Tuhan. Agama hanyalah angan-angan manusia, alam ghaib (metafisika) hanyalah lamunan manusia. Ketika ia telah menyadari Dzat ketuhanannya, ia tak memerlukan agama lagi. Dalam bukunya Minal 'Aqidah ila Tsaurah, ia mengajukan konsep baru ilmu tauhid. Ilmu tauhid bukanlah ilmu yang membahas tentang keesaan Allah, namun membahas manusia sebagai Tuhan. Ilmu tauhid adalah ilmu konflik sosial yang meletakkan teori-teori dasar bagi perilaku individu dan masyarakat, dari sekedar aqidah menjadi tsaurah (revolusi). Dengan adanya peubahan ini, pada akhirnya tauhid membahas "teologi revolusi", "teologi pembebasan", "teologi pertumbuhan", "teologi perubahan sosial", "teologi keadilan sosial", "teologi perlawanan" dan "teologi demokrasi". Kesimpulan Hasan Hanafi, itulah misi tauhid. Konsep radikal ini membuatnya terkenal dengan julukan "Islam Kiri", dan hal itu diakuinya sendiri lewat kedua bukunya "At Turats wa Tajdid" dan "Ad Dien wa Tsaurah". Menurutnya, Islam kiri merupakan pilihan terakhir bagi kemajuan Mesir. Abdurazaqmenulis bahwa Hasan Hanafi dngan ie-ide radikal kirinya ini banyak terpengaruh oleh gerakan reformasi serupa di Eropa yang menuntut peubahan teologi Kristen, dari semula membahas Tuahn menjadi membaha manusia. Hasan Hanafi mengambil pikiran-pikiran tokoh reformasi teologi Kristen, seperti ditulis oleh Joachim Khal, Jhon Passmore dan Paul Blanhard.


Masalah Yang Ada


Tentunya banyak hal yang masih perlu didiskusikan dengan gerakan Islam Liberal ini. Bila dilihat secara mendalam, persoalan paling mendasar dari perbedaan "Islam Literal" dan "Islam Liberal" adalah persoalan keikut sertaan syariah Islam dalam kehidupan bernegara. Islam Liberal selalu menolak statement syariat Islam mampu menjawab segala tantangan zaman, mampu mengatur kehidupan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Keyakinan ini menyeret mereka kepada sikap melihat Barat sebagai satu-satunya solusi terbaik bagi kemajuan. Untuk itu, nasionalisme sekuler merupakan solusi final. Kemajuan Barat dalam bidang iptek dijadikan tolok ukur kemajuan, sementara dekadensi moral dianggap sebelah mata. Dalam hal ini Islam liberal tidak berangkat dari dasar yang jelas, baik naqli aqli maupun fakta sejarah. Mereka mengingkari fakta sejarah kemampuan syariat Islam mengatur negara : masa Rasulullah (1-11 H/622-632 M), khulafa' rasyidun (11-40 H/632-662M), daulah Umawiyah (40-132 H / 662-754 M), daulah Abasiyah (132-656 H/ 754-1258 M), muluku Thawaif (321-685 H/ 933-1288 M) dan daulah Utsmaniyah (687-1343 H/ 1288-1924 M). Daerah kekuasaan Daulah Utsmaniah yang meliputi negara-negara Arab dan Asia, beberapa negara Afrika dan Eropa menjadi saksi abadi, selama 666 tahun syariat Islam mampu mengatur sebuah negara terbesar di dunia dengan cemerlang, sebuah imperium terbesar di dunia hingga hari ini dengan seluruh keruwetan strukturnya bisa diatur dengan syariat Islam, sehingga negara-negara Barat bersata padu guna menjatuhkannya.

Kalangan Islam Liberal juga tak berangkat dari literatur politik Islam yang lengkap. Sebagai sebuah contoh, Nashr Muhammad Arif melakukan riset mendalam sejak 1988 sampai 1994 tentang literatur ilmu politik dalam Islam yang dituangkan dalam buku "Fi Mashadiri at Turats al Siyasi Al Islami ". Dari riset yang panjang ini ia menemukan 307 karya para ulama tentang ilmu politik dan pemerintahan dalam Islam, 105 diantaranya telah dicetak sementara sisanya masih berupa manuskrip. Beliau membandingkan 74 buku para penulis kontemporer dengan jumlah literatur. Hasilnya, ia menemukan buku tokoh Islam Liberal Ali Abdu Raziq yang berjudul "Al Islam wa Ushulul Hukmi" hanya merujuk dua sumber saja dari sejumlah literatur ilmu politik dan pemerintahan atau hanya 0,7 % dari keseluruhan refferensi. Buku Husain Fawiz "Ad Daulah wal Hukmu fi Islam" hanya merujuk pada satu sumber saja, atau 0,3 % dari keseluruhan reffernsi, sementara buku Muhammad Husain Haikal "Al Hukumatu Al Islamiyatu" sama sekali tak merujuk pada refferensi dari literatur Islam alias 0,0 %. 

Kemampuan syariat Islam untuk mengatur negara dan pemerintahan telah teruji selama lebih dari 12 abad. Wacana negara berdasar syariat Islam yang mengayomi seluruh warga negara, muslim maupun non muslim, bukanlah ide al Maududi ataupun Sayid Quthb, namun telah terterjemahkan dalam kehidupan riel sejak zaman nabi. Ilmu politik Islam telah hadir sejak masa Abdul Hamid bin Yahya al Katib (132 H/750 M), penasehat khalifah Marwan bin Muhammad lewat buku yang ditulisnya "Risalatun fi Nashihati Waliyil 'ahdi". Kudeta militer dan keikut sertaan militer dalam dunia politik juga sudah direkam oleh Abdullah bin MUqaffa' (109-145 H/727-762 M), sekretaris khalifah Al Manshur al Abbasi lewat bukunya "Al Durah al Yatimah wal Jauharah al Tsaminah". Hubungan antar negara juga telah dibahas oleh Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M) lewat "Al Siyar al kabir wal shaghir", ia juga telah membahas masalah hak dan kewajiban warga negara non muslim (ahlu dzimah) dan pendapatan serta pengeluaran negara atas permintaan khalifah Harun Al Rasyid, lewat buku monumental "Kitabu al Kharaj".

Sayang sekali, sebagian besar penulis kontemporer tak mengenal ilmu politik Islam yang telah dibukukan sejak abad kedua hijriyah ini, selain dari "Al Ahkam al Sulthaniyah" karya Al Mawardi (364-450 H/975-1058 M) atau "Ghiyatsul Umam Fi al Tiyats al Dzulam"nya imam Al Juwaini (419-478 H/1028-1085 M) atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) dalam karyanya "Al Siyasatu al Syar'iyatu Fi Islahi al Ra'i wal Ra'iya", "Al Amru bil Ma'ruf wa al Nahyu 'anil Munkar" dan "Al Hisbah". Sementara lebih dari 300-an refferensi ilmu politik Islam tak mereka sentuh. Maka amat lucu bila kalangan Islam Liberal berani menegaskan Islam tak mempunyai konsep mengatur negara, hanya dengan merujuk pada dua sumber saja. Kita takut, jangan-jangan gerakan yang dimotori para cendekiawan kritis muslim ini sama sekali tak ilmiah, apalagi amaliah. Paling tidak negara-negara sekuler di Asia dan Afrika telah menjadi saksi tak terbantahkan, sekuler hanya membawa negara ke jurang kehancuran. Tak salah bila guru besar universitas George Town, Louis Kentury mengatakan," Pengalaman selama dua abad ini telah membuktikan bahwa dalam berbagai kondisi, sekulerisasi tak mampu mendatangkan kemajuan. Barangkali, Islam Liberal perlu berguru pada V. Filtzgerald yang mengatakan," Islam bukan agama semata, tapi juga merupakan sistem politik. Walaupun segelintir umat Islam yang menganggap diri mereka sebagai "kaum moderat" berusaha memisahkan keduanya. Sesungguhnya pemikiran Islam sudah jelas sekali bahwa keduanya tak bisa dipisahkan."

Artikel Terkait

0 comments

Post a Comment

Cancel Reply