Wednesday 16 August 2017

Dia Wanita

Kukenali ia sebagai penebar bahagia, keceriaan yang tak pernah luput dari balik wajah mungilnya. Entah berapa kali dunia mencoba menghujam keseluruhannya, berharap ia menyerah pada kepasrahan, tetap saja ia mampu bangkit kembali melawan. Ketidakpedulian pada ketidakmampuan menjadikan senjata mematikan dalam genggamannya. Entah apa yang mampu menahan laju langkah yang berderap itu. Derap langkah yang terdengar bagai pasukan dimedan perang. Gemerincing semangat menciutkan nyali musuhnya. Ya, musuhnya adalah pesimis. Duhai pemangku kesabaran, kuceritakan padamu kisah wanita yang mengambil kesadaranku. Yang dalam bahagianya sadarku. Jika kau bertanya padaku siapakah selain Ummu Salamah yang kucintai, bahkan lidahku kelu, tak mampu menyebut nama karena mahkota yang disandangnya. Tak seangkuh lelaki selayaknya, ia bertememan dengan kerendahan, kesabaran adalah pakaiannya, jelita adalah selimutnya, dan kasih sayang adalah kendaraannya. Siapa yang dijumpainya akan merasa keteduhan yang menyelimuti. Sejak masa kanak ia ditempa dengan kasih sayang yang berlimpah, keberlimpahan yang tak surut jika kemarau melanda. Ia dicintai bukan karena parasnya para penghuni langit, ia dikasihi karena kelemahannya pada kesantunan yang dirindukan jannah. Dia adalah para istri yang bersamanya Aisyah r.a. Jabbal uhud ditopang oleh kokohnya bebatuan, namun keras hatinya ditopang oleh kecintaan akan Rabb nya. Entah seberapa kepahitan yang mampu dikecap oleh lidah, tak mampu memaniskan kisah lalunya yang tak habis jika kata tak menggunung. Hingga jemari berbentur pada lelah tak kujumpai habis menceritakan kisah yang menghempaskannya dalam kubangan luka. Luka yang tak dibiarkannya menganga, sebiru langit memendam luka. Larut dalam kesedihan bukan caranya mempercundangi masalah, karena ia amat yakin Tuhan lebih besar dari gunungan masalah yang menggantung di pundaknya. Tak kulihat ia tergopoh-gopoh menahan jeratan yang menahan laju langkahnya mendekati Rabb...Rambut yang biasa digerai kini ditutupi agar mata jahannam tak menatap kaku, aurat dibungkusnya rapi. Kini ia terlihat lebih siap di medan perang. Walaupun perangnya baru saja dimulai, ia menyadari itu. Sesekali kudengar ia sesegukan, membiarkan kesedihan berlalu setelah singgah menyapa. Siapa pria beruntung berjalan disampingnya itu? Jika Tuhan berkehendak dengan takdir yang telah ditulliskan, maka aku ingin mellihat isinya, adakah aku bersanding dengannya. Seberapa besar keinginanku menginginkannya bukan bilangan angka untuk mengukurnya. Dia wanita yang kusaksikan ketangguhannya, zirah setia yang dikenakannya menghalau segala nafsu jahannam. Ia memuliakan dirinya dengan kalimah Lillah. Dia wanita....yang hidup di penghujung zaman, bukan bersama para raja. Dia hidup bersamaan denganku di zaman yang didamba manusia terdahulu. Jika ada yang bertanya, maka sampaikan aku tidak hidup bersama para raja, aku hidup bersamaan zaman dengannya. Tak dapat kusebut namanya.

Artikel Terkait

0 comments

Post a Comment

Cancel Reply